Oleh Delta Rahwanda
Kantor Post |
Judul kisah perjalanan saya kali
ini barangkali akan sulit dimengerti oleh kebanyakan orang. Belum banyak orang
yang tahu bahwa gunung Merapi jika ditarik garis lurus ke selatan hingga Laut Selatan
(Pantai Parangkusumo) akan bersinggungan dengan beberapa titik penting di kota
istimewa ini. Pertama, Gunung Merapi merupakan batas paling utara Jogjakarta
tentu merupakan sebuah teritory yang penting. Menuju selatan, kita akan bertemu
dengan Tugu Jogja yang juga tidak kalah penting sebagai icon kota budaya ini.
Beberapa langkah masih menuju selatan, kita akan bertemu dengan jalan Malioboro
yang selalu sibuk penuh keramaian. Berlanjut ke selatan lagi, kita akan
berjumpa dengan laun-alun sekaligus Keraton Jogja. Belum berhenti, kita akan
berakhir di Pantai Selatan (Pantai Parangkususmo) yang merupakan perbatasan kota
Jogja bagian selatan. Garis lurus ini disebut dengan Poros Imajiner Jogjakarta.
Garis ini terjadi bukan karna kebetulan namun telah direncanakan oleh leluhur Jogja
dahulu kala. Perjalanan kali ini secara khusus saya lakukan untuk menyusuri
semua spot penting poros imajiner ini.
23 - 24 April
Tas carrier yang sudah menempel
di punggung saya selama lebih dari 8 jam saya tinggalkan di tenda basecamp
terakhir. Tidak lupa saya menitipkannya kepada pendaki lain. Tepat pukul 2.30
dini hari saya melangkahkan kaki penuh semangat dengan membawa sebuah kamera
dan sebotol besar air minum. Semangat membara menuju puncak Merapi. Jalan
menuju puncak bukanlah perkara mudah. Tidak adanya jejak jalan semakin membuat
nyali menciut. Yang ada hanya batu-batu besar berlapis-lapis dan kita harus
kreatif membuat jalan sendiri. Akhirnya sekitar pukul 5.15 saya sampai di
puncak gunung Merapi, puncak Garuda. Saya sejenak membersihkan debu yang
menempel di wajah dan pakaian saya. Begitu indah ciptaan Tuhan diilihat dari
puncak ini. Saya menikmati pemandangan luar biasa ini semaksimal mungkin karna beberapa
ranger di pos pendaftaran sempat berpesan kepada saya jika mendaki sendirian
sebaiknya jangan terlalu lama di puncak. “Cukup 30 menit” ujarnya. Saya
memahami informasi ini demi menjaga keselamatan saya yang mendaki gunung
seorang diri. Meski sebenarnya saya tidak benar-benar sendiri karena banyak
pendaki lainnya di gunung ini. Kemudian 30 menit di puncak Garuda telah
berlalu. Perjalanan pulang menjadi lebih cepat karna rute menurun tak sesulit
ketika mendaki.
Menumpang sebuah truk kecil saya menuju
selatan. Sekali saya berhenti di sebuah POM untuk mandi dan mengganti pakaian
di jalan Kaliurang. Hari masih terik menyengat. Lalu mencari tumpangan lagi
setelah shampo dan sabun membasuh badan saya. Masih menuju selatan yaitu, Tugu
Jogja.
Entah berapa kali saya telah
berjumpa dengan tugu ini. Sedehana, namun tugu ini sudah ada sejak kota jogja
masih desa bahkan hutan belantara. Tugu inilah pusat pertama kehidupan
Jogjakarta. Mengambil beberapa foto tugu lalu saya berjalan santai menuju jalan
Malioboro. Saya sangat menikmati suasana jalan ini. Berjalan terus ke selatan
hingga berhenti di perempatan Kantor Pos. Hari telah gelap. Seorang sahabat
menjemput saya untuk menginap di rumahnya di jalan Glagah Sari. Tak perlu
berlama-lama, saya langsung terlelap sesaat kepala saya menempel pada sebuah
bantal.
Jalan Malioboro |
25-26 April
Keesokan harinya saya melanjutkan
perjalan untuk menyusuri poros imajiner ini. Berikutnya adalah Alun-Alun dan
Keraton. Alun-Alun berguna untuk melaksanakan hajat Keraton. Masyakat akan
berkumpul untuk menyaksikan kegiatan dari Keraton. Keraton juga berdesain unik
dan indah. Jika kita berdiri tepat di gerbang keraton, kita akan melihat puncak
merapi dengan jelas. Saya berdiri di salah satu bangunan khusus yang saya kira
bangunan ini difungsikan untuk mengumumkan informasi Keraton. Karna ketika saya
berbisik saja, suaranya akan terdengar keras. Jika saya mengucapkan suatu kata,
suaranya akan terdengan lebih keras lagi. Sebuah bangun yang unik. Lewat tengah
hari, perjalanan saya cukupkan untuk Keraton Jogja ini.
Alun-alun utara |
Salah satu ukiran pada bangunan Keraton |
Saya mencari celah menuju jalan
Parangtritis dengan naik sebuah becak. Seperti kemarin, saya juga menumpang
menuju Laut Selatan melalui jalan Parangtritis. Perjalanan agak sedikit lama
karna mobil tumpangan saya pecah ban. Menjelang petang, kaki saya berhenti
tepat di Pantai Parangkusumo. Pantai ini terletak di sebelah pantai Parangtritis.
Menghadap ke laut selatan, tenda sengaja saya arahkan. Tadabur alam semakin
romantis hingga saya semakin menghargai ciptaan-nya.
Pantai Parangkusumo |
27 April
Menjelang tengah hari saya
melangkah pulang menuju peraduan. Perjalanan singkat ini adalah refleksi
menghargai sebuah desain yang disusun oleh para leluhur dengan menyatukan
ciptaan Tuhan di dalamnya, Poros Imajiner di Jogjakarta.
Comments
Post a Comment